Jengkol-Archidendron-Jiringa |
Jengkol,
Apa Itu?
Jengkol atau Jering (dalam nama ilmiah disebut
Archidendron pauciflorum) Di beberapa daerah di Indonesia
dikenal sebagai Jengkol (Jawa,
Betawi), kicaang, Jengkol (Sunda), Blandingan (Bali), Jering, Jiring (Melayu),
Jaring (Banjar), Jaawi (Lampung), atau Lubi (Sulawesi).
Tanaman ini dalam bahasa Inggris disebut sebagai
Dogfruit atau Ngapi Nut. Sedangkan dalam bahasa latin (nama ilmiah) tanaman ini
dinamai Archidendron pauciflorum yang mempunyai sinonim Archidendron jiringa,
Pithecellobium jiringa, dan Pithecellobium lobatum.
Klasifikasi ilmiah: Kerajaan: Plantae; Filum:
Magnoliophyta; Kelas: Magnoliopsida; Ordo: Fabales; Famili: Fabaceae;
Upafamili: Mimosoideae; Genus: Archidendron; Spesies: Archidendron jiringa.
Tinggi pohon Jengkol (Jering) mencapai 10-26 meter.
Buahnya berupa polong berbentuk gepeng dan berbelit. Warna buah Jengkol
lembayung tua. Setelah tua, bentuk polong buahnya menjadi cembung dan di tempat
yang mengandung biji ukurannya membesar. Tiap polong dapat berisi 5-7 biji
Jengkol. Bijinya berkulit ari tipis dan berwarna cokelat mengilap.
Manfaat
dan Bahaya Jengkol
Buah Jengkol ternyata kaya akan kandungan gizi.
Menurut sebuah penelitian, dari 100 gram biji Jengkol terkadung 133 kkal
energi, 23,3 gram protein, 20,7 gram karbohidrat, 240 Sl vitamin A, 0,7 mg vitamin
B, 80 mg vitamin C, 166,67 mg fosfor, 140 mg kalsium, 4,7 mg zat besi, 49,5
gram air. Dengan berbagai kandungan gizi yang dipunyai, dipercaya Jengkol atau
Jering (Archidendron jiringa) mampu mencegah gangguan diabetes, menurunkan kadar
gula darah dan dapat menjaga kesehatan Jantung. Tanaman jengkol diperkirakan
juga mempunyai kemampuan menyerap air tanah yang tinggi sehingga bermanfaat
dalam konservasi air dan mengurangi ancaman banjir di suatu tempat. Pemanfaatan
buah (biji) Jengkol beraneka ragam. Mulai dimakan segar sebagai lalapan, diolah
menjadi semur Jengkol, hingga keripik atau emping Jengkol.
Namun Jengkol juga mempunyai efek negatif. Yang
pertama, Jengkol mengandung asam jengkolat (jengkolic acid) yang tinggi
sehingga konsumsi Jengkol berlebihan dapat menyebabkan terjadinya penumpukan
kristal di saluran urin, yang disebut “jengkolan”. Gejalanya mulai nyeri pada
perut dan kadang-kadang muntah, nyeri waktu buang air kecil, urin berdarah,
pengeluaran urin sedikit dan terdapat titik-titik putih seperti tepung, bahkan
urin tidak bisa keluar sama sekali.
Kedua, tentu adalah bau. Bau buah Jengkol
sebenarnya tidak terlalu menyengat. Tetapi setelah dikonsumsi akan memberikan
efek bau yang tidak sedap baik bau nafas maupun bau urine.
Meskipun menimbulkan bau yang tidak sedap dan
ancaman asam jengkolat, tetapi nyatanya banyak yang suka dan tergila-gila pada
Jengkol. Bahkan biji Jengkol atau Jering menjadi salah satu menu favorit oleh
sebagian masyarakat tidak hanya di Indonesia namun juga di Malaysia, Thailand,
dan Filipina.
Jengkol
Sebagai Pembangkit Selera Makan
Sebagian pecandu Jengkol sering merasa berat kalau
harus meninggalkan kebiasaan mengkonsumsi Jengkol. Walau dalam keadaan diet
sekalipun, meninggalkan Jengkol merupakan siksaan berat, lebih baik
meninggalkan lauk-pauk lain daripada harus meninggalkannya.
Ada pengalaman lucu tapi nyata. Teman saya sekantor
divonis terkena kelainan darah. Berat badan yang tadinya lebih dari 60 kg
merosot drastis hingga kurang dari 40 kg. saja. Obat yang dikonsumsi
bermacam-macam, sehari 5-6 tablet harus ditelan. Apalagi dokter sudah memvonis
usianya tinggal tahun terakhir. Dasar imannya kuat, humoris lagi, dia nggak
ambil pusing dengan vonis yang membuat ciut nyali yang mendengarnya.
Hampir delapan bulan saya tidak bertemu dengannya
karena masing-masing mempunyai kesibukan tersendiri. Begitu ketemu saya dibuat
kaget plus berbagai tanda tanya berkecamuk di benak saya, mungkinkah dengan
waktu yang relatif singkat dapat mengembalikan kondisi tubuhnya menjadi segar
bugar, berisi dan mukanya bercahaya. Nggak tahan dengan kebingungan di benak,
saya memberanikan diri bertanya:”Ade.., berobat kemana? Sama dokter mana?
Alhamdulillah bisa normal kembali dan punya penampilan seperti waktu gadis
dulu?”. Dijawabnya singkat sambil cengar-cengir:“Jengkol!”. Mana mungkin,
Jengkol si penyebab sakit jengkolan yang baunya menyengat sampai-sampai orang
yang berpapasan dengan orang yang baru memakannya juga menyingkir, bisa jadi
obat?
Melihat saya kebingungan, dia mengatakan:”Setelah
saya kena vonis hidup hanya untuk tahun terakhir, saya menangis terus setiap
malam, saya sholat istikharah. Pada akhirnya saya memutuskan hidup mati hanya Alloh
yang menentukan. Karena ini tahun terakhir, saya tidak berpantang makan apapun.
Saya sering botram (sunda=makan bareng rame-rame) dengan keluarga dan rekan
sekantor, sedang menu favoritku adalah Jengkol. Sejak itu badan terasa enak,
bobot naik, dan keluhan menghilang dengan sendirinya. Kini anda lihat, saya
tidak berobat lagi, bisa meneruskan kuliah, bisa naik haji, dan pasien yang
berobat ke klinik saya ngantri. Kuncinya hanya satu selera makan saya sekarang
berubah total, apalagi Jengkol tak bakalan ketinggalan!”
Simpel, ternyata Jengkol berfungsi juga sebagai
pembangkit selera makan, sehingga seseorang dapat lebih sehat karena asupan
gizinya baik dan teratur.
Kuliner
Jengkol Merambah Manca Negara
Masyarakat Indonesia yang bermukim di Zurich,
Swiss, pernah menggelar acara Pasar Senggol. Acara yang diselenggarakan setiap
tahun ini bertujuan untuk memperkenalkan berbagai macam kuliner Indonesia
kepada masyarakat Swiss. Beragam jenis makanan khas Indonesia ditampilkan. Pasar
senggol tersebut juga merupakan wadah berkumpulnya warga Indonesia yang sangat
merindukan suasana pasar tradisional di Tanah Air. Demikian siaran pers KBRI
Swiss yang disiapkan oleh Sekretaris bidang Pensosbud, Mohammad Budiman
Wiriakusumah (TN, 09/07/2012).
Warung Konsuler adalah bentuk pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat Indonesia di Swiss di setiap acara seperti ini,
sehingga masyarakat yang kebanyakan sibuk dalam kegiatan sehari-hari tidak
repot-repot datang ke Bern untuk mengurus paspornya, mereka cukup datang di
acara ini bersama keluarga sambil melepaskan rasa kangen akan suasana pasar di
Indonesia.
Ada cerita lucu pada siang hari itu, Yanthi Sidler
penjual nasi rames Jawa Barat berusaha dengan sabar menjelaskan tentang Balado
Jengkol yang dijualnya karena si pembeli seorang masyarakat Swiss "ngotot"
untuk dapat mencicipi Jengkol, sedangkan Yanthi berusaha agar si pembeli
mengurungkan niatnya untuk mencicipi jengkol tersebut karena takut menimbulkan
bau tidak sedap. Namun karena pembeli ingin sekali merasakan akhirnya Yanthi
merelakannya, namun setelah 2 jam, pembeli dengan senyumnya menghampiri sambil
berkata ‘saya baru mengerti sekarang mengapa anda melarang saya memakan jengkol
karena menyadarinya setelah keluar dari kamar kecil' (DN, 09/07/2012).
Tata
Niaga Jengkol
Produk sayur seperti Jengkol di Garut Jawa Barat
harganya mulai meroket, harga 1 kg Jengkol mencapai Rp
32.000,--, dibandingkan dengan harga daging ayam yang hanya Rp 26.000 per kg.
Bahkan berdasarkan siaran televisi di pasar Bekasi sudah menembus angka Rp.
50.000 per 1 kg-nya.
Salah seorang pedagang sayuran di Pasar Ciawitali,
Guntur, Garut, Ayi mengatakan sejak sebulan terakhir harga Jengkol terus mengalami
kenaikan dari harga biasanya hanya mencapai Rp 5.000 per Kg.
"Sudah mahal, barangnya sulit didapat,"
ujarnya, Pasar Ciawitali, Rabu (29/5). Para pedagang sayuran yang biasa
menyediakan Jengkol
kini kewalahan karena banyak pelanggan yang kecewa pesanan Jengkolnya tak
terpenuhi. "Terutama para pemilik rumah makan, sudah pesan sejak beberapa
hari lalu hingga saat ini belum terpenuhi," katanya.
Ayi tidak mengetahui penyebab hilangnya Jengkol di pasaran, yang
ia ketahui hanyalah pasokan Jengkol
dari daerah Sumatra dan Jawa Tengah sangat sedikit. "Katanya pasokan dari
Sumatra dan Jawa Tengah sedikit, saya sendiri sering tidak kebagian",
ucapnya.
Hal senada juga disampaikan Dede (45) pedagang
daging ayam, menurutnya sejak sebulan ini banyak yang menanyakan jengkol, namun
ketersediaan Jengkol
di Pasar Ciawitali tidak ada.
"Ya, banyak tetangga saya yang titip pesan Jengkol, eh Jengkolnya susah dicari, terus harganya jadi mahal, lebih mahal
dari daging ayam" ,imbuhnya (TN,30/05/2013). Dalam hal ini sebenarnya
siapa yang salah?, kalau pedagang pasti menganut hukum dagang, barang langka
harga naik, barang melimpah harga pasti turun, kecuali ada rekayasa spekulan.
Yang tidak dapat dimengerti apakah sampai separah
ini?, Jengkol bukan barang niaga strategis yang setiap orang harus
mendapatkannya.
Jengkol
Sebagai Katalis Pendapatan Pajak
Pelanggan warteg atau warung kecil lainnya harus
bersiap-siap mengeluarkan uang lebih saat menyantap hidangan. Sebab pajak 10
persen akan rata diterapkan kepada pengusaha makanan beromzet Rp. 60 juta
setahun. "Pajak ini tidak mengenal sebutan, mau warteg, warung makan
padang, sepanjang menjual makanan dan minuman di atas Rp. 60 juta melekat
kewajiban sebagai pembayar pajak," ujar Kadis Pelayanan Pajak Pemprov DKI,
Iwan Setiawandi.
Pajak kan buat semua juga. Kalau biasa makan di
warteg Rp. 6.000, sekarang harus bayarkan 10 persen pajak, jadi bayar Rp 6.600.
Saya juga suka makan nasi goreng di warung. Suka semur jengkol di warteg. Nanti
kalau makan di warteg yang kena pajak, saya juga harus bayar 10 persen pajaknya
itu (DN, 02/12/2010)
Jengkol..., jengkol...
Doc. By Bio